Senin, 23 April 2012

Menyulap Sampah Jadi Alat 'Drum Band'

BERMAIN band, marching band maupun drum band, bukanlah hobi atau kesenangan yang murah. Butuh dana puluhan bahkan ratusan juta rupiah untuk bisa membeli peralatan yang sebagian besar masih merupakan
barang impor.
Namun, siapa sangka hanya dari sampah, sebuah alat drum band bisa diciptakan. Murah, ramah lingkungan, dan tentu berkualitas. Itulah yang dilakukan Djamzuri, seniman asal kota gudeg, Yogyakarta.
Pemain perkusi ini terusik untuk menciptakan alat musik drum band dari bahan-bahan bekas. Dia membeli plastik-plastik bekas pembungkus barang impor menjadi perkusi. Tak hanya itu, bekas tempat tinta mesin fotokopi disulapnya menjadi belira.
''Semula saya memang bermain drum band, itu sekitar tahun 1960-an. Saat itu saya merasakan masalah yang dihadapi adalah mahalnya biaya untuk pengadaan alatnya," kata Djamzuri.
Pertengahan tahun 1970, Djamzuri mulai berpikir bagaimana membuat alat band yang murah. Idenya tergerak saat melihat banyaknya kaleng dan drum bekas. Mulailah dia berkreasi, mencari bahan-bahan dasar pembuat alat band dengan memanfaatkan barang bekas. Dia menemukan plastik pembungkus barang-barang impor sangat bagus untuk genderang.
Dikumpulkannya pula barang bekas lain seperti per persneling Vespa yang bisa dijadikan senar drum. Dia menceritakan kegemarannya pada musik berawal ketika masih remaja suka melihat para abdi dalem Keraton Yogyakarta memainkan drum band. Dari situ minatnya pada musik semakin besar. Kemudian dia bergabung dengan salah satu kelompok drum band.
Cukup puas memainkan alat-alat tersebut, dia berpikir bagaimana bisa membuat dan memiliki drum band sendiri. Setelah berkeliling dan mencari informasi ke berbagai tempat, akhirnya dia menemukan pilihan barang-barang bekas tak terpakai lagi sebagai bahan dasar alat band.
Dibantu beberapa orang yang tergabung dalam PKBM Kyai Suratman, Kelompok Belajar Usaha Drum Band, yang beralamatkan di Srandakan, Km 9, Tegallayung Caturharjo, Pandak, Bantul, Djamzuri bekerja setelah ada
pesanan. Pemesan kebanyakan berasal dari instansi di luar Jawa. Untuk sekali pemesanan, mulai dari pembuatan sampai latihan memainkan alat-alat, dia mematok harga Rp11 juta.
"Perlu waktu tiga minggu menyelesaikan pembuatan alat sampai melatih anak-anak sekolah pemesan bermain drum band. Jadi harga sebesar itu sudah termasuk untuk latihannya," papar Djamzuri.
Untuk sebuah alat drum band, Rp11 juta terhitung sangat murah.
Bandingkan jika membeli alat impor, satu set drum band terdiri atas 25 perkusi, 12 melodi, 2 tongkat mayoret, 2 simbal dan 12 color flag harganya bisa mencapai Rp50 juta.
Bapak tiga anak itu mengaku, usahanya ini semula sama sekali tidak berdasarkan niat mencari keuntungan. Jiwa seninya saat itu merasa prihatin karena cukup banyak sekolah berminat memiliki seperangkat drum band, namun terkendala masalah dana. Apalagi sekolah di pelosok
atau luar Jawa. Uang mereka tak cukup untuk membeli peralatan impor.

0 komentar:

Posting Komentar